V for Vendetta, V for Vornografi ?

Mungkin tidak ada film yang sebagus, berbobot dan seberat V for Vendetta di tahun 2006 ini. Jarang ada sebuah film yang memiliki nilai filosofis yang cukup tinggi namun tidak berat, kritis serta cerdas. Jika anda menonton film ini, maka anda seperti menonton lagi film the “Matrix Trilogy” hasil besutan dari sutradara Wachowski bersaudara, film yang mempunyai bobot filosofisnya sama namun Matrix sedikit lebih berat karena memang film V for Vendetta adalah hasil karya mereka meskipun Wachowski bersaudara hanya menjadi penulis skenario.

Alkisah tentang kehidupan masyarakat di London pada abad ke 21. Ketika Inggris menjadi Negara yang otoriter, rakyat hidup dalam ketakutan dan hidup dalam kebohongan oleh pemerintah. Digambarkan bahwa rakyat begitu patuh namun patuh dalam ketakutan kepada Konselor Sutler (John Hurt) yang secara sistematis menghabisi lawan-lawan politiknya dengan cara yang kotor dan dengan propaganda serta kebohongan public. Suatu ketika dikisahkan pada tanggal 5 November, bahwa ada seorang wanita bernama Evey (Natalie Portman) diselamatkan oleh pria bertopeng yang belakangan dipanggil Vendetta (Hugo Weaving) dari tindakan semena-mena “the finger” yaitu sebuah polisi rahasia pemerintah yang bertugas mengawasi jam malam. Di situlah kisah mereka dimulai ketika sebuah gedung pengadilan Inggris diledakkan sebagai tanda perlawanan terhadap pemerintah dimulai.

Mungkin saya sebaiknya tidak menceritakan film ini secara keseluruhan karena lebih baik anda menonton filmnya sendiri. Akan tetapi ada yang menarik yang saya ingin ungkapkan di sini.

Pemerintahan Sutler digambarkan memerintah dengan penuh terror, propaganda bahwa keamanan dan kesatuan iman adalah segala-galanya akibatnya hak-hak pribadi masyarakat dibatasi sampai diberlakukannya jam malam. Film ini merupakan kritik terhadap Hitler dan George W Bush. Wachowski seakan ingin memberitahukan kita bahwa agenda perang teroris George W Bush terhadap yang dianggapnya dianggapnya teroris itu bisa jadi lama kelamaan disamakan seperti gerakan fasisme Hitler. Wachowski juga ingin mengatakan kepada kita bahwa Perang terhadap teroris dengan mengatas namakan agama adalah sangat berbahaya sama halnya ketika George W Bush pernah mengatakan “Crusade” untuk perang terhadap teroris dan untungnya pernyataan itu ditarik kembali.

Vendetta adalah digambarkan sebagai tokoh yang sangat kecewa dengan perlakuan kejam pemerintah terhadap dirinya, maka timbulah kebencian dan ingin melakukan balas dendam. Simbol perlawanannya dilukiskan dalam huruf “V” for “Vengeance”. Penggambaran Vendetta yang mengenakan topeng dan jubah tertutup untuk menutupi luka bakar di sekujur tubuhnya serta siksaan di penjara seakan menggambarkan penderitaan Vendetta yang amat dalam.

Seperti layaknya film yang biasanya terdapat tokoh antagonis dan tokoh utamanya. Tetapi saya rasa tokoh utamanya kali ini adalah Evey. Evey meskipun dia berterima kasih telah ditolong oleh Vendetta dan simpati serta mendukung terhadap perjuangannya, dia tidak serta merta setuju dengan cara Vendetta yang begitu keras dan radikal yang seakan tiada maaf bagi para penjahat (sebagai contoh ketika ada seorang dokter yang menciptakan virus untuk pemerintah meskipun dia minta maaf, Vendetta tetap membunuhnya), serta latihan penyiksaan yang dialaminya ternyata itu semua dikerjakan sendiri oleh Vendetta. Sikap lugu dan polos Evey terhadap Vendetta ketika apa yang dikatakan benar adalah benar, dan salah adalah salah membuat Vendetta yang cerdas, keras serta radikal pada akhirnya sadar bahwa perjuangannya dia hanyalah proyek balas dendam yang justru banyak menimbulkan masalah baru daripada menyelesaikan masalah yang sudah ada seperti terjadinya anarkisme di Inggris.

Itulah sebabnya tokoh Vendetta bukannya bebas dari kritik, kritik Evey terhadap Vendetta sebenarnya merupakan kritik Wachowski juga kepada Osama Bin Landen yang berjuang dengan cara kekerasan dan radikal untuk sesuatu yang tidak adil.
Sebenarnya film ini menuntut kita untuk berpikir obyektif dan adil terhadap lingkungan di sekitar kita, terkadang berita yang muncul di televisi tidak sepenuhnya benar sehingga mengharuskan kita untuk bersikap kritis dan tidak serta merta menerimanya. Jika anda pernah menonton Fahrenheit 9/11 maka pesan yang disampaikan kurang lebih sama yaitu kritik terhadap agenda perang terhadap teroris oleh Bush, kecerobohan pihak keamanan dalam peledakan gedung kembar WTC yang seakan-akan sengaja dibiarkan terjadi. Suatu pesan yang baru dari film ini adalah kritik terhadap sikap fasisme dan rasisme Hitler, sikap radikal Osama Bin Landen, kritik terhadap agama yang digabungkan dengan Negara dan mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik, kritik terhadap kebebasan pers, beragama dan berekspresi, dan masih banyak yang mungkin bisa anda tambahkan juga di sini.

Sebenarnya jika mau berpikir lebih lokal lagi, telaah kritis film V for Vendetta juga tertuju terhadap pemerintah yang saat ini sedang menggodok RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Kisah Sutler yang memimpin negara dengan tangan besi dengan motto “Strength Through Unity, Unity Through Faith” menggunakan simbol-simbol agama untuk melawan segala bentuk terorisme padahal orang yang mengkritik pemerintah pun bisa disamakan dengan teroris (jelas-jelas pemerintah bukan Tuhan yang selalu benar). Sama seperti halnya pemerintah yang sedang membahas RUU yang memerangi pornografi, dengan alasan agama dan moral mereka membuat definisi pornografi yang terlalu bias sehingga justru lebih banyak jatuh korban tak bersalah akibat amunisi yang salah sasaran tersebut.

RUU ini seakan mengajak kita untuk bersatu untuk melawan suatu musuh yang tidak jelas, bias serta terkesan membodohi masyarakat. RUU ini dinilai terlalu jauh mengurusi hak privat seseorang bagaimana dia harus memakai baju ? Bagaimana dia harus beraksi di depan panggung ? Bagaimana dia harus dan harus dan harus ? Semuanya ini dijadikan satu jilid ke dalam suatu UU. Padahal urusan moral tidak perlu diundang-undangkan cukup hanya melalui ajaran agama (Hukum tertulis) & etika (Hukum tak tertulis) yang bisa diajarkan di sekolah ataupun di tempat-tempat ibadah.

Ketika moral atau ajaran agama dimasukkan ke dalam suatu UU, hal ini dikhawatirkan akan membuat orang tidak nyaman terhadap dirinya sendiri. Bisakah dibayangkan jika ada aturan UU kita harus makan menggunakan tangan kanan karena tangan kiri tidak sopan, dan kita ditangkap hanya gara-gara masalah tangan ? Begitu juga baju, kita ditangkap karena kita memakai baju yang kita anggap suka & bagus disamakan dengan hukum pidana ketika maling ayam atau seorang pemerkosa dihukum ? Haruskah hal sedemikian sepele dimasukkan ke dalam UU ? Mungkinkah kita semua tahu bahwa semua perkara di atas itu sudah ada hukumnya di dalam hukum moral yang terdapat di masyarakat ? Dan rasanya aneh jika Negara kita mengurusi hal yang demikian.

RUU APP sendiri dikhawatirkan akan terlalu banyak mengurusi hak privat ketimbang memberantas industri pornografinya yang sebenarnya lebih meresahkan ketimbang baju-baju yang dianggapnya seksi dan mengundang syahwat padahal mungkin bagi saya dan orang yang melihat biasa-biasa saja. Bahaya yang ditimbulkan sama seperti yang terdapat pada film V for Vendetta, ketika pemerintahan Sutler berteriak penting artinya kesatuan dan keamanan Negara, tetapi hak-hak pribadi seseorang dan keragaman kepercayaan serta budaya diabaikan.

RUU APP juga dikhawatirkan akan memberangus keunikan budaya, salah sasaran dalam pemberantasannya karena justru arti pornografi yang terlalu bias. Jangan lupa juga efek domino pada kehancuran dunia wisata. Terlalu banyak dampak buruk yang ditimbulkan ketimbang kebaikannya. Harus disadari bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang cultural dan memiliki keragaman suku, agama serta budaya. Masakah kita harus memberantas budaya kita sendiri yang dianggap oleh sebagian orang porno padahal sebagian orang biasa saja ? Apakah memang pemerintah lebih pusing memikirkan hak privat seseorang sehingga menunda agenda lain yang lebih penting bagaimana melawan serbuan produk tekstil impor dari Cina yang mengancam produk lokal ? Bagaimana memberantas flu burung ? Bagaimana meningkatkan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia ? Bagaimana mempermudah birokrasi dan memberantas korupsi ? dan bagaimana yang lainnya. Coba anda renungkan sendiri bagi yang mendukung RUU aneh ini.

[Bingung dengan judul di atas, sengaja saya memberi huruf (V)ornografi menggantikan huruf (P)ornografi karena yang diberantas seharusnya huruf P tetapi menjadi salah sasaran sehingga menjadi huruf V, padahal Vornografi bukanlah Pornografi. V hanyalah korban tidak bersalah akibat salah tafsir. Ini hanyalah salah satu ilustrasi]

[Hanya ada satu cara bagus untuk mengetes pornografi. Ambil 12 laki-laki normal untuk membaca sebuah buku, kemudian tanyakan kepada mereka. “Apakah penis anda ereksi ? Jika mayoritas mereka menjawab “ya”, buku itu porno. W.H. Auden Penyair Amerika]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.